Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa
Di blog kali ini, gue mau review buku yang baru aja selesai gue baca, Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa. Kalian yang pernah liat book review gue sebelum ini yang berjudul Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta, pasti bakal tau juga buku ini karena ditulis penulis yang sama.
Judul: Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa
Penulis: Alvi Syahrin
Penerbit: GagasMedia
Tahun terbit: Cetakan pertama 2019, cetakan kedua 2020
Kota: Jakarta
Jumlah halaman: 236 halaman
Harga: (P. Jawa) Rp 88.000
Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa dikategorikan sebagai buku pengembangan diri. Buku ini berisi essay-essay motivasi alih-alih fiksi seperti novel pada umumnya.
Alvi Syahrin melalui buku ini memberikan kata-kata motivasi buat temen-temen yang lagi menghadapi masa-masa sulit. Keadaan ketika kalian nggak tau mau jadi apa di masa depan, keadaan ketika kalian nggak berhasil masuk universitas negeri, keadaan dimana kalian bingung menghadapi ekspektasi orang tua, dan situasi-situasi sulit di dunia kerja berhasil disampaikan oleh Alvi dengan baik, menurut gue.
Dalam beberapa essaynya, Alvi mengakui kalau ia mengalami sendiri beberapa situasi nggak mengenakan, seperti yang dia tulis dalam bukunya. Sepanjang buku ini, Alvi berusaha memberikan solusi dan penguatan untuk pembacanya, toh dia sendiri pernah mengalaminya juga. Jadi, Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa membawakan kata-kata yang terasa nyata dan bukan cuman omong kosong belaka.
Buku ini cocok banget buat kalian yang butuh kata-kata untuk mengakui permasalahan kalian dan solusi yang bisa dicoba untuk permasalahan kalian. Buku ini cuman kurang ilustrasi lagi, mungkin? Gue sangat merekomendasikan buku ini.
Ada 3 essay kesukaan gue beserta kutipannya dari total 45 essay yang Alvi Syahrin tuliskan di buku ini.
1. Hanya Murid Rata-Rata yang Tidak Penting
Dia hanya murid rata-rata yang tidak penting.
Namun, jujur, hatinya iri.
Dia juga harus sadar.
Berada di bangku terdepan tidaklah mudah.
Mereka yang senantiasa menduduki peringkat teratas? Mereka sudah dikenal sebagai murid dengan peringkat terbaik, mereka punya reputasi itu, identitas mereka sudah lekat dengan itu. Orang-orang sekitar berekspektasi pada mereka. Dan, itu jadi tekanan tersendiri. Mereka berusaha mempertahankan posisi ini, tetapi alur dunia begitu tidak terduga, dan ini menjadi tekanan baru bagi mereka, yang menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan. Bagaimana jika peringkatnya turun dan itu mengecewakan orang-orang terdekatnya? Terdengar remeh, tetapi tak ada yang remeh dari yang namanya tekanan dan beban.
Banyak orang bilang ke orang-orang dengan peringkat atas, "Ah, ini mah gampang kali ya buat kamu, kan kamu udah pinter," lantas mengasihani diri sendiri. Tapi, yang kalian nggak tau, jadi "pinter" itu sendiri kadang jadi beban. Orang-orang dengan peringkat atas itu juga nggak bisa melakukan semuanya secara sempurna. Waktu mereka gagal dalam sesuatu, itu jadi tekanan tersendiri untuk mereka karena mereka nggak bisa memenuhi ekspektasi tinggi orang lain terhadap mereka.
2. Tekanan Anak Pertama
Anak pertama selalu jadi beban bagi dirinya sendiri.
"Ayo, kasih ke adikmu dulu."
"Belajar yang rajin. Biar jadi contoh buat adik kamu."
Mereka tak pernah meminta menjadi anak pertama. Namun, anak pertama hanya mampu melihat dari sudut pandang anak pertama. Mereka tak tahu beban yang dirasakan anak kedua setiap kali orangtua berkata, "Lihat, tuh, kakakmu. Kamu masa gitu-gitu aja." Kamu tidak tahu rasa terabaikan yang dirasakan anak-anak pertengahan karena orangtua sibuk mengurus kakak yang baru memasuki sekolah dan adik-adik yang baru lahir. Kamu tidak tahu rasanya menjadi anak bungsu yang terasingkan dari keluarga, beda umur paling jauh, jarang didengar suaranya, dipandang remeh kemampuannya karena masih kecil.
Mereka, anak-anak pertama, berharap orangtua sadar bahwa orangtualah yang harus menjadi panutan. Mereka tak tahu beban yang dirasakan orangtua. Orangtua sadar betul mereka sudah jadi panutan tanpa perlu disuarakan.
Udah jelas lah ya, apa pesan yang ingin disampaikan disini. Pokoknya, semua peran punya bebannya masing-masing.
3. Selalu Saja Dibandingkan
Melihat diri di cermin, lalu membenci refleksimu sendiri sebab orang yang kamu lihat di sana adalah orang yang penuh dengan kegagalan. Menggulir linimasa Instagram, lalu hatimu perih melihat mereka yang memamerkan kesukseksan ini-itu.
Berfoto dengan almamater sebuh universitas top dan teman-teman baru yang rupawan.
Potret sebuah kartu nama resmi beserta jabatan di perusahaan baru yang bergengsi.
Namun, begitulah manusia melihat kehidupan. Kita menjadikan hidup ini sebagai ajang berbangga-bangga tentang apa yang kita miliki. Memang, dari permukaan, kita merasa kita tidak sedang berbangga-bangga. Kita hanya ingin memotivasi dan menghargai berkah hidup. Namun, di lubuk hait terdalam, kita diam-diam merasa butuh validasi orang-orang kalau kita memang sudah sukses dan bahagia.
Sadar nggak sih, selama ini yang membanding-bandingkan diri adalah kita sendiri? Kesuksesan orang lain selalu jadi standar kesuksesan diri. Padahal, kalian bisa ciptakan sendiri arti sukses bagi kalian. Kalau kalian terus membandingkan apa yang dipunya dengan apa yang orang lain punya, nggak akan ada habisnya. Rumput tetangga selalu lebih hijau.
Sekian, terima kasih udah baca. Sampai jumpa di blog selanjutnya!
Komentar
Posting Komentar